Kamis, 12 Januari 2012

Logika Penyembah Setan



Setelah diusir dari jannah karena enggan memberi hormat pada Adam, Iblis berjanji akan menyesatkan manusia dengan cara apapun. Dendam kesumat ini membara hingga kiamat. Berbagai siasat telah diterapkan dengan hasil yang bervariasi. Orang-orang yang “mukhlas” terjaga, sedang yang lain terjebak dengan tingkat keparahan berbeda-beda. Hasil paling memuaskan yang dicapai dari program penyesatan ini sepertinya ada pada fenomena yang hari ini begitu marak terjadi berupa penyembahan terhadap setan. Dulu, Iblis diusir karena enggan disuruh sujud kepada manusia, tapi kini justru makhluk dari tanah inilah yang bersimpuh menyembahnya.  Ada yang yang membentuk sekte dan benar-benar melakukan ritual sujud dan pengorbanan sampai yang hanya mengangungkan secara samar lewat musik dan simbol-simbol setan.
Salah satu alasan mengapa mereka mengagungkan Iblis adalah karena dalam persepsi mereka Iblis lebih mulia dari para malaikat yang bersujud. Iblis lebih monotheis dan taat tuhan karena hanya bersujud pada-Nya dan enggan pada selain-Nya. Benarkah apa yang mereka persepsikan ini?
Imam Asy Syahrastani, seorang ulama ahli perbandingan agama dalam bukunya al Milal wa an Nihal I/15 memberikan sanggahan yang sangat apik. Dijelaskan, bohong kalau dikatakan keengganan Iblis untuk tunduk adalah karena ketaatannya pada Alloh dan kekuatan tauhidnya. Yang benar, Iblis enggan sujud murni karena keangkuhan dirinya. Jelas diungkapkan dalam ayat, komplain Iblis atas perintah Alloh bukan karena faktor sujudnya, tapi soal asal usul penciptaannya. Logika iblis menyatakan unsur ciptaannya lebih mulia daripada Adam hingga dia menolak untuk sujud.
Imam Asy Syahrastani menukil dari salah satu buku Tafsir Injil, sebuah dialog antara Iblis dan Malaikat. Iblis mempertanyakan kebijaksanaan Allah tentang pengusirannya. Mengapa dia dilaknat karena tidak mau sujud kepada Adam gara-gara hanya ingin berserah diri kepada Alloh saja? Lalu dikatakan bahwa Allah menjawab melalui malaikat, “ Engkau berdusta dan tidak tulus saat mengatakan kau berserah diri pada-Ku. Kalau kau jujur bahwa Aku adalah Rabb sekalian alam, kau tidak akan menyanggah-Ku dengan “Mengapa?” bukankah tidak ada ilah selain-Ku dan Aku tidak akan ditanya atas apa yang aku lakukan, sedang makhluklah yang akan ditanya?.
Lebih dari itu, Imam al Baghawi menjelsakan dalam tafsirnya (I/85, versi Syamilah),  sujud yang dimaksud saat itu adalah sujud ta’zhim, bukan ibadah. Tapi juga menjadi bukti ketaatan kepada Allah. Ini seperti sujudnya saudara Yusuf pada Yusuf (QS. Yusuf; 100). Bentuknya adalah inhina’ (membungkuk) yang setelah Islam datang hal itu dilarang.
Imam asy Syahrastani melanjutkan, pola penentangan Iblis akhirnya diwariskan kepada manusia dengan pola berpikir yang sama. Perhatikanlah dua ayat ini, Allah berfirman:
”Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu”. Menjawab iblis:”Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. 7:12). Dan,
“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka:”Mengapa Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul.” (QS. 17:94)
Alasan para penyembah setan yang selanjutnya adalah Iblis mereka anggap sebagai penyeimbang alam. Di dunia ada kebajikan ada keburukan. Keduanya seimbang dan memang harus ada. Dua-duanya memperjuangkan kemenangan dan mereka berada di pihak kegelapan untuk membantu menjaga keseimbangan alam.
Omong kosong. Ini sebenarnya hanyalah alasan untuk memberontak dari ketaatan pada agama. Memangnya kenapa kalau seandainya di dunia ini orangnya jadi baik semua? Mereka hanya ingin mencari pembenaran atas segala tindakan busuk mereka; kriminal, kejahatan seksual, mabuk-mabukan dan sebagainya. Bagi mereka agama hanya mengekang kebebasan dan nafsu. Dan pada akhirnya, kebanyakan para pemuja setan menjadi atheis alias tidak mengakui keberadaan Allah. Meskipun, konsekuensinya mereka juga tidak mengakui keberadaan Iblis dan menuhankan diri sendiri. Namun begitu, setan tidak rugi karena toh pada akhirnya,mereka akan tetap bertemu di ujung jalan, neraka jahanam.
Allah berfirman,
“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat:”Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikat itu menjawab:”Maha Suci Engkau.Engkaulah pelindung kami, bukan mereka; bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (QS. Saba’:40-41)
“Katakanlah, ‘Maukah aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik ) itu disisi Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, diantara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi (dan orang yang) menyembah Taghut (setan)”. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Maidah:60)
Iblis dan Setan hanyalah makhluk Allah yang membangkang dan senang mengajak yang lain agar mengikuti jejaknya. Mereka memang mengisi salah satu sisi kehidupan berupa keburukan. Tapi, Allah tidak meridhai hal itu dan tidak ridha kita ikutan-ikutan mengisi sisi kehidupan yang mereka tempati.
Itulah syubhat dan keraguan yang disebar setan sebagai hama yang merusak pohon keimanan kita. Masih ada segudang syubhat dan muslihat pikiran lain yang dimiliki. Karenanya, jangan kaget jika dalam beberapa kesempatan, kita sering dibisiki keraguan tentang persoalan iman yang membuat hati kita bertanya-tanya bahkan membuat hati menjadi galau.  Tapi tak perlu khawatir. Hal seperti itu juga dialami  bahkan oleh shahabat nabi. Jika saat keraguan itu muncul lalu hati kita menjadi khawatir dan takut untuk mengucapkannya apatah lagi meyakininya, itu justru tandanya iman masih ada di hati kita.
عَنْ أَبُو هُرَيْرَة رَضِيَ اللَّه عَنْهُ ( قَالَ : جَاءَ نَاسٌ مِنْ أَصْحَاب النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلُوهُ : إِنَّا نَجِد فِي أَنْفُسنَا مَا يَتَعَاظَم أَحَدُنَا أَنْ يَتَكَلَّمَ بِهِ . قَالَ : وَقَدْ وَجَدْتُمُوهُ ؟ قَالُوا : نَعَمْ قَالَ : ذَاكَ صَرِيحُ الْإِيمَانِ

Dari Abu Hurairah berkata, “ Ada beberapa orang shahabat Nabi bertanya, “ Kadangkala kami mendapati sesuatu dalam pikiran kami yang kami merasa berat bahkan untuk sekadar membicarakannya.” Nabi bersabda, “ Kalian merasa begitu?” Mereka menjawab, “ Iya.” Rasululalh bersabda, “ Itulah iman yang jelas.” (HR. Muslim).
Yang perlu kita lakukan adalah berusaha menyadari bahwa itu dari setan, menepis dengan ilmu yang dimiliki, mencari nasihat ulama, dan senantiasa mengucapkan “amantu billah” (aku beriman kepada Allah)dan menguatkan keyakinan serta berserah diri kepada Allah. Minimal, kita harus menjaga agar keraguan itu tetap menjadi keraguan dalam hati dan tidak sampai menjadi keyakinan.
Ya Allah, sesungguhnya jiwa dan raga kami ada dalam kekuasaan-Mu. Kami berserah diri kepada-Mu atas segala yang mengganggu iman kami agar Engkau hilangkan dan engkau gantikan dengan keyakinan yang lebih kuat. Hanya kepada-Mu kami memohon perlindungan. Amin. Wallahua’lam. (anwar)

Tanda Hati yang Sakit

11 January 2012
Di antara tanda hati yang sakit adalah hamba sulit untuk merealisasikan tujuan penciptaan dirinya, yaitu untuk mengenal Allah, mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, kembali kepada-Nya dan memprioritaskan seluruh hal tersebut daripada seluruh syahwatnya. Akhirnya, hamba yang sakit hatinya lebih mendahulukan syahwat daripada menaati dan mencintai Allah sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla,
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS. Al Furqan: 43).
Beberapa ulama salaf menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,
هو الذي كلما هوى شيئا ركبه . فيحيا في هذه الحياة الدنيا حياة البهائم لا يعرف ربه عز وجل ولا يعبده بأمره ونهيه كما قال تعالى : ( يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوىً لَهُمْ)(محمد: من الآية12)
“Orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dia yang senantiasa menunggangi hawa nafsunya, sehingga kehidupan yang dijalaninya di dunia ini layaknya kehidupan binatang ternak, tidak mengenal Rabb-nya ‘azza wa jalla, tidak beribadah kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, persis seperti firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka’ (QS. Muhammad: 12).”
Pada akhirnya, balasan sesuai dengan perbuatan, sebagaimana di dunia dia tidak menjalani kehidupan yang dicintai dan diridhai Allah ‘azza wa jalla, dia menikmati seluruhnya dan hidup menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya, maka demikian pula di akhirat kelak, dia akan menjalani kehidupan yang tiada kebahagiaan di dalamnya, dirinya tidak akan mati sehingga terbebas dari adzab yang menyakitkan. Dia tidak mati, tidakpula hidup,
يَتَجَرَّعُهُ وَلا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِنْ وَرَائِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ
“Diminumnya air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada azab yang berat” (QS. Ibrahim: 17).
Diantara tanda hati yang sakit adalah pemiliknya tidak merasa terluka akibat tindakan-tindakan kemaksiatan sebagaimana kata pepatah ‘وما لجرح بميت إيلام’, tidaklah menyakiti, luka yang ada pada mayat. Hati yang sehat akan merasa sakit dan terluka dengan kemaksiatan, sehingga hal ini melahirkan taubat dan inabah kepada Rabb-nya ‘azza wa jalla. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. Al A’raaf: 201).
Allah berfirman ketika menyebutkan karakter orang beriman,
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Ali Imran: 135).
Maksudnya adalah ketika mereka bermaksiat, mereka mengingat Allah ‘azza wa jalla, ancaman dan siksa yang disediakan oleh-Nya bagi pelaku kemaksiatan, sehingga hal ini mendorong mereka untuk beristighfar kepada-Nya.
Penyakit hati justru menyebabkan terjadinya kontinuitas keburukan seperti yang dikemukakan oleh al-Hasan ketika menafsirkan firman Allah,
كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون
“Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al Muthaffifin: 14).
Beliau mengatakan,
هو الذنب على الذنب حتى يعمى القلب أما سليم القلب فيتبع السيئة الحسنة والذنب التوبة
“Hal itu (rahn) adalah dosa di atas dosa yang membutakan hati. Adapun hati yang salim justru akan melahirkan perbuatan yang baik setelah dulunya berbuat buruk, melahirkan taubat setelah dulunya berbuat dosa.”
Di antara tanda penyakit hati adalah pemiliknya tidak merasa risih dengan kebodohannya terhadap kebenaran. Hati yang salim akan merasa resah jika muncul syubhat di hadapannya, merasa sakit dengan kebodohan terhadap kebenaran dan ketidaktahuan terhadap berbagai keyakinan yang menyimpang. Kebodohan merupakan musibah terbesar, sehingga seorang yang memiliki kehidupan di dalam hati akan merasa sakit jika kebodohan bersemayam di dalam hatinya. Sebagian ulama mengatakan,
ما عصى الله بذنب أقبح من الجهل ؟
“Adakah dosa kemaksiatan kepada Allah yang lebih buruk daripada kebodohan?”
Imam Sahl pernah ditanya,
يا أبا محمد أي شيء أقبح من الجهل؟ قال ” الجهل بالجهل ” ،قيل : صدق لأنه يسد باب العلم بالكلية
“Wahai Abu Muhammad, adakah sesuatu yang lebih buruk daripada kebodohan? Dia menjawab, “Bodoh terhadap kebodohan.” Kemudian ada yang berkata, “Dia benar, karena hal itu akan menutup pintu ilmu sama sekali.”
Ada penyair yang berkata,
وفي الجهل قبل الموت موت لأهله             وأجسامهم قبل القبور قبور
وأرواحهم في وحشةٍ من جسومهم           وليس لهم حتى النشور نشور
Kebodohan adalah kematian sebelum pemiliknya mati,
tubuh mereka layaknya kuburan sebelum dikuburkan
Kepada tubuh yang semula, ruh mereka ingin kembali,
padahal bagi mereka, tidak ada kebangkitan hingga hari kebangkitan
Di antara tanda penyakit hati adalah pemiliknya berpaling dari nutrisi hati yang bermanfaat dan justru beralih kepada racun yang mematikan, sebagaimana tindakan mayoritas manusia yang berpaling dari al-Quran yang dinyatakan Allah sebagai obat dan rahmat dalam firman-Nya,
وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…” (QS. Al Isra: 82).
Mereka justru berpaling mendengarkan lagu yang menumbuhkan kemunafikan dalam hati, menggerakkan syahwat dan mengandung kekufuran kepada Allah ‘azza wa jalla. Pada kondisi ini, hamba mendahulukan kemaksiatan karena kecintaannya kepada sesuatu yang dimurkai oleh Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian, mendahulukan kemaksiatan merupakan buah dari penyakit hati dan akan menambah akut penyakit tersebut. Sebaliknya, hati yang sehat justru akan mencintai apa yang dicintai Allah dan rasul-Nya sebagaimana firman-Nya,
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
“Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS. Al Hujuraat: 7).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“Orang yang ridhal Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai rasul, niscaya akan merasakan kelezatan iman.” [HR. Muslim].
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga diriku lebih dicintainya daripada orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Diantara tanda penyakit hati, pemiliknya condong kepada kehidupan dunia, merasa enjoy dan tenteram dengannya, tidak merasa bahwa sebenarnya dia adalah pengembara di kehidupan dunia, tidak mengharapkan kehidupan akhirat dan tidak berusaha mempersiapkan bekal untuk kehidupannya kelak disana.
Setiap kali hati sembuh dari penyakitnya, dia akan beranjak untuk condong kepada kehidupan akhirat, sehingga keadaannya persis seperti apa yang disabdakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل
Hiduplah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau orang yang sekedar menumpang lewat” [HR. Bukhari].
Wallahul muwaffiq.
Dikutip dari al-Bahr ar-Raiq karya Syaikh Ahmad Farid

Penyusun: Muhammad Nur Ichwan Muslim
Artikel www.muslim.or.id

Jumat, 06 Januari 2012

Kendala Sirna Karena Takwa


Kendala Sirna Karena Takwa
Tak sedikit orang yang berpikir, bahwa hidup tanpa aturan halal haram lebih berpeluang untuk mendapatkan kemudahan. Dengan tanpa aturan mereka merasa memilki lebih banyak pilihan dan jalan. Ingin sukses menjadi pejabat, ingin menjadi orang kaya, ataupun keinginan lain yang disangka mendatangkan kebahagiaan dirinya. Tak peduli dengan cara suap, penghasilan riba, menjual makanan yang haram, menanggalkan syariat demi sebuah karier yang kesemuanya terbebas dari pertimbangan syar’i.
Begitupun dalam menghadapi solusi dari setiap problem yang dihadapi. Tanpa mengindahkan batasan syariat, mereka merasa lebih leluasa untuk mencari jalan keluar. Mereka bisa mencoba semua cara yang pernah dilakukan manusia. Baik tatkala menghadapi problem pekerjaan, terlilit hutang, berurusan dengan perselisihan, atau sakit yang tak kunjung sembuh. Mereka bisa mengenakan jimat, mendatangi dukun, berbohong dan cara-cara lain yang rasional maupun tidak, tanpa dibayang-bayangi oleh norma syar’i, halal ataukah haram.
Begitulah logika hawa nafsu yang tidak mengenal Sang Pencipta. Seakan alam ini berjalan begitu saja tanpa ada yang mengaturnya. Seakan kejadian dan peristiwa itu bisa terjadi tanpa kehendak-Nya.
Urusan Mudah dengan Takwa
Berbanding terbalik dengan logika iman yang Allah ajarkan. Justru dengan takwa, segala urusan menjadi mudah. Dengan membatasi diri dengan yang halal, dan meninggalkan semua cara-cara haram, kemudahan akan didapat. Bukankah Allah yang menciptakan manusia, Dia pula yang paling tahu tentang kebutuhan hamba-Nya, dan jalan apa yang paling mudah untuk meraihnya. Maka Allah menggariskan jalan berupa syariat kepada manusia. Dengannya manusia akan berhasil menemukan keberuntungan dan kemaslahatan yang didambakan, asal mereka sudi menempuh jalannya.
Taat terhadap perintah dan larangan syariat inilah realisasi dari takwa. Makin taat terhadap aturan, makin mulus jalan bagi seseorang untuk meraih tujuan. Tidak mungkin dia akan dikecewakan. Karena mustahil Allah mengingkari janji-Nya, mempermainkan atau menzhalimi hamba-Nya yang telah tunduk dan taat di atas aturan yang digariskan-Nya. Allah telah berjanji,
“Adapun orang yang memberi dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (jannah), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. 92:5-7)
Itulah kabar gembira bagi orang yang berbekal takwa dalam memburu kemaslahatan. Dia akan dimudahkan dalam segala urusan kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Bukan saja kemudahan tatkala mendapatkannya, tapi juga berupa ketenangan, kenyamanan dan kebahagiaan yang menyertainya. Orang yang bermuamalah dengan jujur misalnya, maka Allah akan memudahkan urusannya dan memberkahi usahanya. Dan setelah tujuan itu tercapai, pun tidak menyisakan was-was atau kekhawatiran, karena ash-shidqu thuma’niinah, kejujuran itu membawa ketenangan.
Pada ayat berikutnya, Allah menyebutkan yang sebaliknya. Ada kabar buruk bagi orang yang tak mengindahkan takwa, yakni berupa jaminan kesulitan dan kesukaran yang akan ditemuinya. Allah berfirman,
“Dan Adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” (QS al-Lail 8-10)
Ada yang menarik dari dua kondisi berkebalikan yang disebutkan di atas. Sudah sangat maklum ketika Allah menyebutkan, kebalikan dari memberi adalah bakhil, kebalikan dari membenarkan adalah mendustakan, dan kebalikan dari kemudahan adalah kesulitan. Tapi, kenapa Allah menyebutkan kebalikan dari ‘ittaqa’ (takwa) adalah ’istaghna’, merasa tidak butuh (terhadap pertolongan Allah)?
Ada jawaban yang memuaskan dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah tentang hal ini, sebagaimana beliau sebutkan dalam kitabnya At-Tibyaan fii Ahkaamil Qur’an. Beliau menyebutkan, bahwa orang yang bertakwa, tatkala menyadari betapa mereka itu fakir di hadapan Allah, dan amat membutuhkan pertolongan Allah, maka dia takut mengundang murka dan kemarahan Allah, takut melanggar apa yang dilarang oleh Allah. Sungguh ini adalah argumen yang sangat tepat. Bagaimana mungkin seseorang berani membuat kecewa dan sengaja memancing kemarahan Dzat yang berwenang dan Kuasa memberikan segala sesuatu atau mencegahnya?
Maka tepat jika disebutkan bahwa kebalikan dari takwa adalah ’istaghna’, merasa tidak butuh pertolongan Allah. Orang yang tidak merasa butuh pertolongan-Nya, maka dia tidak peduli atas segala tindakannya. Dia tidak takut bermaksiat dan mengundang murka-Nya. Maka sebagai balasan dari rasa congkaknya itu, Allah akan menimpakan kesulitan yang senantiasa mengepungnya dari segala arah. Hingga sulit baginya mendapatkan kemaslahatan hakiki yang menenangkan jiwa dan hati.
Sekilas ada yang janggal, karena faktanya banyak orang yang menempuh jalan haram, namun dengan mudah bisa mencapai tujuannya. Mari kita renungkan dengan seksama, apakah benar mereka mendapatkan kemudahan? Karena ukuran kemudahan itu tidak hanya diukur dari start seseorang memulai usaha sampai tujuan teralisasi. Namun juga melihat resiko di belakangnya. Bagaiamana dikatakan kemudahan, jika setelah tujuan tercapai justru membawa efek kegundahan dan kekhawatiran di belakangnya? Atau bahkan resiko yang lebih besar serta berefek pada keruwetan yang berkepanjangan? Mungkin orang bisa cepat kaya dengan korupsi, tapi apakah ini berarti kemudahan? Bukan..! sekali lagi bukan! Karena hati maling tak pernah tenang, takut jika perbuatannya diketahui. Dan tatkala aksinya benar-benar ketahuan, buntutnya adalah problem berkepanjangan. Ini hanya sekedar sampel, namun begitulah ujung dari semua cara meraih tujuan yang tidak memenuhi unsur takwa, sulit dan rumit. Belum lagi kesusahan yang lebih berat dan lebih kekal akan mereka alami di akhirat kelak, nas’alullahal ’aafiyah.
Kendala Sirna Karena Takwa
Di samping memuluskan jalan meraih kebaikan dan kemaslahatan, takwa juga menjadi solusi mujarab atas semua problem yang dihadapi manusia. Abu Dzar radhiyallahu ’anhu menceritakan, bahwa suatu kali Nabi saw membaca firman Allah,
”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” (QS ath-Thalaq 2-3)
Beliau mengulang-ulang ayat itu kemudian bersabda,
ياَ أَباَ ذَرٍّ لَوْ أَنَّ الناَّسَ أَخَذُوْا بِهاَ لَكَفَتْهُمْ
”Wahai Abu Dzar, seandainya manusia mengambil (cara) ini, niscaya akan mencukupi mereka.” (HR al-Hakim beliau mengatakan, sanadnya shahih. Adz-Dzahabi juga menyebutkan dalam at-Talkhis bahwa hadits ini shahih)
Ayat tersebut tidak menyebutkan jalan keluar dari problem apa, ini menunjukkan keumuman makna. Artinya, bahwa takwa menjadi jalan keluar bagi seluruh problem yang di hadapi manusia. Abu al-Aliyah menafsirkan ayat tersebut, ”Yakni jalan keluar dari segala kesulitan. Ini mencakup segala kesulitan di dunia maupun di akhirat, serta kesempitan di dunia maupun di akhirat.”
Inilah resep paling ampuh untuk mengatasi segala masalah. Solusi yang tak mungkin salah. Karena berasal dari Dzat yang Mahatahu dan Mahakuasa atas segala sesuatu. Banyak sudah bukti yang dirasakan oleh orang-orang yang berusaha merealisasikan takwa. Ibnu al-Jauzi adalah salah satu orang yang telah merasakan khasiatnya. Sebagaimana pengakuan beliau dalam kitabnya ’Shaidul Khaathir’, di mana beliau berkata, ”Suatu kali saya mengalami problem yang rumit. Urusan yang menimbulkan kegundahan berkepanjangan. Lalu aku berpikir keras untuk mencari solusi dari kegelisahan ini. Dari segala solusi yang mungkin, saya kaji dari berbagai sisi, namun saya belum juga mendapat jawaban yang memuaskan. Lalu ditawarkan kepadaku solusi dari firman-Nya,
”Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.” (QS ath-Thalaq 2)
Lalu saya pun tahu, bahwa takwa adalah solusi paling handal untuk menyudahi segala kegundahan. Maka setiap kali saya berusaha merealisasikan takwa, disitulah saya dapatkan jalan keluar.”
Adapun, cara-cara yang dilakukan oleh orang-orang fajir, meski sekilas tampak ada penyelesaian dari satu sisi, namun dampak negatif yang ditimbulkannya lebih luas dan lebih berat lagi. Karena Allah menjanjikan kesulitan bagi mereka yang melanggar rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh Allah. Mereka yang lebih percaya dengan jimat, dukun ataupun cara haram yang lain, tak mungkin mendapat solusi yang memadai. Begitupun orang yang tak merasa butuh dengan pertolongan Allah, dan hanya mengandalkan kekuatan fisik dan akalnya semata. Justru rasa takut yang makin akut, depresi yang terus menghantui dan keruwetan yang menjadi-jadi, laksana benang kusut yang tak jelas pangkal dan ujungnya. Belum lagi kesulitan akhirat yang lebih berat dan lebih abadi. Allahumma rahmataka narju, wa laa takilna ilaa anfusina tharfata ’ain. (Abu Umar Abdillah)

Bujuk Rayu Setan


Allah SWT berfirman (artinya), Iblis berkata: "Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan". Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh." Iblis menjawab: "Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)," (Al-A'raaf: 14-17).
Berkata Iblis: "Ya Tuhanku!, (kalau begitu) Maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan." Allah berfirman: "(Kalau begitu) Maka Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari waktu yang Telah ditentukan." Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa Aku sesat, pasti Aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti Aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka," (Al-Hijr: 36-40).
Trik melepaskan diri dari godaan dan penyesatan syetan
  1. Menjadikan syetan sebagai musuh. Sebagaimana dalam firman Allah: "Sesungguhnya syetan itu adalah musuh bagi kalian, Maka jadikanlah ia musuh (kalian), karena sesungguhnya syetan-syetan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala," (Fathir: 6).
  2. Mengikuti rambu-rambu yang telah ditentukan oleh Allah dan berjalan di atas jalan yang lurus. Firman Allah SWT: "Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu", dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan yang lurus," (Yaasiin: 60-61).
    "Dan sesungguhnya (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertakwa," (Al-An'am: 153).
  3. Berusaha menjadi seorang mukmin yang bertawakkal dan memohon perlindungan kepada Allah. Firman Allah SWT, "Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syetan yang terkutuk. Sesungguhnya syetan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhan-nya. Sesungguhnya kekuasaannya (syetan) hanyalah atas orang-orang yang menjadikannya sebagai wali-wali mereka dan atas orang-orang yang mempersekutukan dengan Allah," (An-Nahl: 98-100).
  4. Senantiasa bersungguh-sungguh menjadi orang yang mengingat Allah, melaksanakan ibadah dan ketaatan kepada-Nya. Firman Allah SWT: "Barangsiapa yang berpaling dari mengingat Allah yang Maha Pemurah (Al-Quran), maka akan Kami datangkan baginya syetan (yang menyesatkan), maka syetan Itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan Sesungguhnya syetan-syetan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk," (Az-Zukhruf: 36-37).
  5. Senantiasa menumbuhkan ketakwaan kepada Allah dan muraqobah kepada-Nya. Firman Allah SWT: "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya," (Al-A'raf: 201).
  6. Selalu mengingat, dan sadar setelah dilupakan oleh syetan, menjauhkan diri dari orang-orang yang sesat supaya keimanannya kembali dan selalu berada bersama orang-orang yang bertakwa dan beriman. Firman Allah SWT: "Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syetan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)," (Al-An'aam: 68)

Doa


doa_amalan_akhir_amalDo’a sederhana yang sudah sepatutnya kita hafal dan amalkan karena begitu ringkas namun kandungannya amat mendalam. Do’a tersebut adalah:
اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ
Allahumma ahsin ‘aqibatanaa fil umuuri kullihaa, wa ajirnaa min khizyid dunyaa wa ‘adzabil akhiroh. (Ya Allah, baguskanlah setiap akhir urusan kami, dan selamatkanlah dari kebinasaan di dunia dan dari siksa akhirat)